1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakAsia

Kriminalisasi via Media Sosial Ancam Kaum LGBTQ+ di Irak

Cathrin Schaer | Azhar al-Rubaie
7 Mei 2024

Media sosial selama ini menjamin ruang aman bagi minoritas seksual di Irak untuk berinteraksi. Namun sebuah legislasi baru membawa petaka bagi kebebasan di ranah digital.

https://p.dw.com/p/4fYCw
Aksi protes Anti-LGBTQ+ di Baghdad, Irak
Aksi protes Anti-LGBTQ+ di Baghdad, IrakFoto: Hadi Mizban/AP/picture alliance

Media sosial adalah satu-satunya ruang diskusi di mana kaum LGBTQ+ di Irak bisa saling berdiskusi secara terbuka tentang identitas seksual.

"Sebelum adanya Instagram, kelompok minoritas seksual harus menggunakan akun anonim di Facebook dan grup rahasia untuk bisa saling berkenalan," kata Khalid, mahasiswa 22 tahun di Provinsi Babilonia kepada DW. "Dengan fitur bercerita hanya kepada teman dekat di Instagram, prosesnya semakin mudah untuk mendapat teman atau bahkan menemukan cinta."

Kebudayaan konservatif mendorong kelompok minoritas seksual untuk bersembunyi. Berbagai survey di Timur Tengah menyimpulkan tingkat penerimaan masyarakat yang hanya sebesar 10 persen terhadap homoseksualitas.

"Jadi media sosial menjadi platform utama untuk berekspresi di sini, terutama bagi mereka yang tidak memiliki ruang sendiri,” tutur Ayaz Shalal Kado, direktur eksekutif organisasi hak asasi manusia Irak, IraQueer. "Mereka merupakan kelompok rentan, seperti komunitas LGBTQ+, penyandang disabilitas dan lainnya. Media sosial adalah cara bagi mereka untuk mengekspresikan diri, terkoneksi dan membangun komunitas,” ujarnya.

Namun begitu, media sosial tidak cuma menawarkan ruang aman, tapi juga bisa menimbulkan bahaya, kata Human Rights Watch awal tahun ini, saat meluncurkan kampanye Secure Our Socials. Melalui kerja sama dengan organisasi HAM setempat, HRW melaporkan bagaimana aktivitas digital digunakan oleh negara-negara otoriter untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas seksual.

Ugandan could face death penalty under anti-gay law

Ancaman digital

Ancaman tersebut terutama dikhawatirkan semakin marak di Irak. Meski ramai ditolak, perilaku seksual sesama jenis tidak diharamkan di sebagian besar negara-negara di Timur Tengah.

Di Irak, pemerintah selama ini menggunakan UU Anti-Pencabulan untuk menghukum anggota komunitas LGBTQ+. Namun pada akhir April, pemerintah di Baghdad mengamandemen UU Anti-Prostitusi yang melarang segala bentuk perilaku homoseksualitas atau transeksualitas dengan ancaman penjara 15 tahun.

Adapun, mereka yang didakwa "mempromosikan" homoseksualitas dapat didenda hingga 15 juta dinar Irak atau sekitar Rp180 juta.

Amandemen tersebut diputuskan setelah Komisi Penyiaran Irak mengeluarkan peraturan pada Agustus 2023 yang melarang istilah "homoseksualitas” dan menggantinya dengan frasa "penyimpangan seksual.” Media juga tidak diizinkan membahas isu "gender”.

Menurut media lokal Rudaw, anggota parlemen Irak bersikeras bahwa mereka memerlukan amandemen tersebut "untuk melindungi masyarakat Irak dari kemerosotan moral," sebagaimana tertulis dalam teks amandemen tersebut.

"Sebenarnya, undang-undang ini bukanlah hal baru sama sekali,” kata Khalid. "Kami selalu hidup dalam ketakutan dan persembunyian," hanya saja sekarang bertambah hal-hal yang perlu dikhawatirkan, katanya kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kritik internasional

Amandemen di Irak dikritik secara luas oleh organisasi internasional dan negara sekutu. Misi Bantuan PBB untuk Irak mengatakan, legislasi tersebut bertentangan dengan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang sudah diratifikasi oleh Irak. Departemen Luar Negeri AS berpendapat peraturan baru ini dapat digunakan untuk "lebih menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta menghambat operasi organisasi non-pemerintah di seluruh Irak."

Lembaga swadaya di Irak masih mencari cara untuk merespons amndemen UU Anti-Prostitusi. Salah satu organisasi hak asasi manusia di Irak, Gala for LGBTQ, mengimbau netizen untuk menggembok akun pribadi, tidak lagi mengikuti akun-akun queer secara terbuka dan menghapus materi digital yang dianggap ramah LGBTQ+.

"Jika Anda berada di Irak, lebih baik tidak membicarakan atau mempublikasikan tentang komunitas LGBTQ+ dan serahkan hal ini kepada orang-orang yang berada di luar Irak,” saran organisasi tersebut.

"Ada banyak cara untuk melawan dan itulah yang sedang dilakukan komunitas saat ini,” kata Kado dari IraQueer kepada DW. "Keselamatan dan keamanan adalah prioritas tertinggi. Namun kami tidak akan menyerah. Itu bukanlah suatu pilihan.”

Kado mengaku khawatir, kehadiran komunitas LGBTQ+ di media sosial Irak akan punah, seiring bertambahnya ancaman keselamatan di ruang digital.

Alegra Wolter: Dokter Transpuan Pertama di Indonesia

Dampak luas terhadap hak sipil

"Melarang penggunaan istilah ‘homoseksual' atau ‘gender' adalah sebuah kemunduran yang besar, dan bukan hanya untuk kaum queer,” kata Kado. "Ada banyak titik-temu yang tidak hanya berdampak pada organisasi saya, tapi juga semua organisasi feminis, semua yang bekerja untuk hak-hak perempuan, dan mereka yang fokus pada kesetaraan gender dan hak-hak tubuh secara umum."

Ada juga kasus-kasus lain di mana media sosial menjadi berbahaya di Irak. Pada akhir pekan yang sama ketika pemerintah Irak mengesahkan aturan baru LGBTQ+, seorang influencer populer Irak, Ghufran Mahdi Sawadi, dibunuh oleh penyerang tak dikenal di luar rumahnya, kemungkinan besar karena aktivitas online-nya.

"Setiap anak muda berhak atas hiburan dan berbagi konten di akun mereka,” kata saudara laki-laki Sawadi, Amir, kepada DW. "Ini adalah kehidupan pribadi mereka."

Selama setahun terakhir, dua tokoh media sosial lain dibunuh, salah seorangnya adalah seorang transgender yang dikenal sebagai Simsim dan Noor Alsaffar, serta gemar memposting video dirinya dalam pakaian perempuan.

"Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa ketika satu kelompok menjadi sasaran, maka kelompok rentan lainnya akan menjadi sasaran berikutnya,” kata Kado.

"Jika Anda membiarkan pelaku pelanggaran hak asasi manusia mengambil tindakan tanpa akuntabilitas, mereka akan betindak lebih. Pada titik tertentu, sudah terlambat untuk menghentikan mereka.”

rzn/yf