1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengenang Peristiwa Kelam Tragedi Mei 1998

Indonesien  | Farida Indriastuti -  Blogger
Farida Indriastuti
10 Mei 2024

Tragedi demi tragedi terjadi pada sekitaran Mei 1998, sungguh melukai rasa kemanusiaan. Peristiwa Mei 1998 sungguh tak terlupakan. Opini Farida Indriastuti.

https://p.dw.com/p/4fhlM
Mai 1998 di Indonesia
Kerusuhan Mei 1998Foto: Arbain Rambey

Ingatan saya seolah terlempar pada peristiwa kelam Mei 1998, saat asap hitam membumbung tinggi di udara, suara raung-raung knalpot motor militer yang memekakkan telinga.

Hingga hari ini, kerusuhan Mei 1998, menggoreskan luka dalam bagi keluarga korban dari tragedi penculikan aktivis, penembakan aktivis mahasiswa, perkosaan massal warga etnis Tionghoa, kematian massal warga Jakarta yang terbakar hidup-hidup di mal dan kepedihan lainnya.

Pemerintah hanya mengakui peristiwa Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM masa lalu, tanpa tindakan nyata rehabilitasi, rekonsiliasi, penghukuman atas kejahatan kemanusiaan dan lainnya, bahkan aparatur negara yang terlibat aktif sebagai pelaku pelanggar HAM tidak sedikit pun meminta maaf pada rakyat Indonesia.

Saya turut berempati, bersimpati dan berduka sangat dalam atas luka kemanusiaan itu. Tanpa bisa berbuat apa-apa untuk meringankan beban keluarga korban.

Saya hanya menjadi pendengar setia orang tua (almarhum) kawan-kawan saya yang kehilangan belahan jiwa mereka. Dengan kalimat yang sangat klise dan monoton, "Sabar ya Bu, semoga Tuhan memberikan jalan keadilan!"

@faridaindria adalah:Penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.
Penulis: Farida IndriastutiFoto: Farida Indriastuti

Menanti kesungguhan pemerintah

Namun bagaimana keadilan dapat dicapai, jika pemerintah Indonesia tidak memiliki niat baik untuk mewujudkan keadilan atas kekacauan yang terjadi pada  Mei 1998?

Meski Aksi Kamisan sudah berlangsung selama 17 tahun di depan Istana Merdeka, tempat Presiden Joko Widodo berkantor, serta konsisten dilakukan oleh para keluarga korban dan penggiat HAM.

Sampai hari ini  Sumarsih (ibu almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan) tidak pernah menanggalkan baju warna hitamnya, sebelum keadilan ditegakkan. Ironisnya, sampai hari ini tidak ada pencapaian keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Belajar dari Rwanda

Tidak bisakah pemerintah Indonesia mengadopsi langkah pemerintah Rwanda? Bayangkan 30 tahun lalu, Rwanda adalah negara yang paling hancur di dunia, terbelenggu peristiwa genosida yang menewaskan 800.000 jiwa, menurut laporan PBB. Belum lagi perbedaan angka menurut laporan lembaga kemanusiaan independen dan organisasi lainnya, bisa mencapai angka 1 juta jiwa.

Pada akhirnya, Rwanda menjadi negara yang bangkit dari bayang-bayang genosida. Hingga hari ini, riwayat HAM Indonesia masih terpuruk, pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui genosida yang terjadi pada 1965.

Sedangkan pemerintah Rwanda mengakui kejahatan kemanusiaan di masa lalu dan meminta maaf secara terbuka pada seluruh rakyat Rwanda.

Pada Juli 1994, Pemerintah Persatuan Nasional Rwanda dibentuk oleh RPF, yang terdiri dari pejabat Hutu dan Tutsi, menandai berakhirnya perpecahan yang mengakar kuat, mencabik-cabik negara sebagai negara miskin yang memiliki rekam jejak konflik bersenjata yang paling berdarah, kejam dan mengerikan.

Rwanda melakukan upaya rekonsiliasi dengan merombak konstitusi, menghapus kategori etnis Hutu dan Tutsi pada KTP alias kartu identitas. Warga Rwanda tidak didefinisikan dengan label Hutu dan Tutsi, pemerintah Rwanda merangkul dan menyatukan identitas bersama sebagai warga Rwanda yang bersatu dalam rasa kemanusiaan yang sama.

Lihatlah Rwanda hari ini, demokrasi di Rwanda menjadi lebih baik. Para pelaku kejahatan HAM dari level teratas, pangkat jenderal bintang empat alias panglima tertinggi dalam militer, meminta maaf secara terbuka pada rakyat Rwanda. Bonus lainnya, keterwakilan perempuan di parlemen jadi yang tertinggi di dunia.

Sebaliknya dengan pemerintah Indonesia, kejahatan HAM di masa lalu terus dipelihara jadi borok, tidak pernah mendapatkan keadilan. Sungguh mengerikan, jika terus menghantui, melahirkan dendam, mewariskan luka dari generasi ke generasi.

Ibu-ibu korban tetap terluka, mendapati putra-putra mereka tewas ditembus peluru tajam militer. Bahkan semua peristiwa kejahatan HAM di Indonesia dari periode ke periode, tidak pernah diselesaikan secara adil, jangan berharap rehabilitasi atau rekonsiliasi terjadi secara adil. Pemerintah Indonesia tidak pernah meminta maaf secara terbuka pada rakyat Indonesia, sejak 1965 hingga 2024.

Beberapa tahun lalu, KONTRAS pernah meminta pemerintah untuk memutus belenggu impunitas atas upaya penuntasan kasus tragedi Mei 1998. Namun presiden terpilih saat itu: Joko Widodo justru menempatkan terduga pelaku dan keluarga terduga pelaku pelanggaran HAM dalam kekuasaan pemerintahan. Tentu harapan akan terjadi penegakan hukum akan kembali nihil, apalagi berharap good governance yang harusnya bersih dari individu-individu yang mempunyai rekam jejak negatif dalam isu HAM atau Hak Asasi Manusia.

Tidak heran, dari tahun ke tahun di Indonesia akan selalu muncul berbagai tagar perlawanan rakyat di media sosial, salah satunya adalah tagar #MenolakLupaTragediMei1998.

Peristiwa pembangkangan sipil atas perlawanan pada tindakan otoritarian yang militeristik, korupsi, kolusi, nepotisme dan lainnya di masa lalu, yang tidak pernah dibuktikan oleh pemerintah Indonesia untuk mendapatkan keadilan dan kesetaraan dalam HAM. Rakyat Indonesia dibuat menunggu terus-menerus, tanpa kepastian hukum.

Rakyat Indonesia hanya bisa menonton kegaduhan politik di layar kaca televisi. Dengan menepuk dada berucap, "Bagaimana mungkin para pelanggar HAM bisa melenggang mulus di kekuasaan tanpa hambatan yang berarti." Seakan-akan seluruh rakyat Indonesia menyepakati itu. Sungguh perih, pedih, seolah menghujam ke jantung bagi para keluarga korban dan penggiat HAM, begitu juga rakyat Indonesia yang mendambakan good governance terjadi di negara ini.

 

Penulis: @faridaindria,

Penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW IndonesiaTerima kasih.

 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!